Bagi wanita, mempercantik diri adalah hal yang biasa bahkan
menjadi kebutuhannya. Islam memandang jika tujuannya untuk menyenangkan hati
suami maka itu akan dinilai sebagai ibadah. Mempercantik diri, selama dengan
cara yang wajar dan tanpa merubah ciptaan Allah Ta’ala dalam diri kita,
tidaklah mengapa. Namun, ketika sudah ada yang ditambah-tambahkan atau
dikurang-kurangkan maka itu terlarang, sebab seakan dia tidak mensyukuri nikmat
yang ada pada dirinya. Itulah yang oleh hadits disebut ‘Dengan tujuan
mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.’
Bagaimanakah bersolek yang terlarang? Dalam hal ini
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah memberikan panduannya untuk
kita.
Tegas Sekali Larangan Itu
Berikut ini adalah berbagai riwayat tentang bersolek yang
bisa menurunkan laknat Allah Ta’ala atas pelakunya. Diriwayatkan oleh beberapa
sahabat nabi seperti Abu Hurairah, Aisyah, Asma, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan
Mu’awiyah. Berikut ini adalah beberapa hadits tersebut.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاصِلَةَ
وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
وَالْوَاشِمَةَ
وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5589, 5602] )
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ
جَارِيَةً
مِنْ
الْأَنْصَارِ
تَزَوَّجَتْ
وَأَنَّهَا
مَرِضَتْ
فَتَمَعَّطَ
شَعَرُهَا
فَأَرَادُوا
أَنْ
يَصِلُوهَا
فَسَأَلُوا
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَقَالَ
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاصِلَةَ
وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan
sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya (seperti wig,
konde, dan sanggul), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang
disambung rambutnya.” (HR. Bukhari [5590], Muslim [2123], Ibnu Hibban [5514] )
Dari Asma’ Radhiallahu ‘Anha dia berkata:
سَأَلَتْ
امْرَأَةٌ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ
يَا
رَسُولَ
اللَّهِ
إِنَّ
ابْنَتِي
أَصَابَتْهَا
الْحَصْبَةُ
فَامَّرَقَ
شَعَرُهَا
وَإِنِّي
زَوَّجْتُهَا
أَفَأَصِلُ
فِيهِ
فَقَالَ
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاصِلَةَ
وَالْمَوْصُولَةَ
“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang
membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya
sambung rambutnya?” Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita penyambung rambut
dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari [5597], Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, [4025] )
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاصِلَةَ
وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
وَالْوَاشِمَةَ
وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603, 5598, 5596], Muslim
[2124], At Tirmidzi [1814] )
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاشِمَاتِ
وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ
وَالْمُتَنَمِّصَاتِ
وَالْمُتَفَلِّجَاتِ
لِلْحُسْنِ
الْمُغَيِّرَاتِ
خَلْقَ
اللَّهِ
تَعَالَى
“Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita
yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka
merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari [4604, 5587], Muslim [2125], Ibnu Hibban [5504],
Ad Darimi [2647], Abu Ya’la [5141] )
Pada tahun haji, Muawiyah naik ke mimbar sambil membawa
jalinan rambut, lalu dia berkata:
أَيْنَ
عُلَمَاؤُكُمْ
سَمِعْتُ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَنْهَى
عَنْ
مِثْلِ
هَذِهِ
وَيَقُولُ
إِنَّمَا
هَلَكَتْ
بَنُو
إِسْرَائِيلَ
حِينَ
اتَّخَذَ
هَذِهِ
نِسَاؤُهُمْ
“Di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam melarang semisal ini, dan Beliau bersabda: Sesungguhnya binasanya
Bani Israel adalah ketika kaum wanita mereka menggunakan ini.” (HR. Bukhari [5588], Muslim [2127] )
Demikianlah di antara hadits-hadits tentang laknat Allah
Ta’ala dan RasulNya, atas wanita yang menyambung rambut, bertato, mengkikir
gigi, dan mencukur alis.
Jadi, ‘ilat (sebab) dilaknatnya perbuatan-perbuatan ini
adalah karena demi kecantikan mereka telah merubah ciptaan Allah Ta’ala yang
ada pada diri mereka. Maka perbuatan apa pun, bukan hanya yang disebut dalam
riwayat-riwayat ini, jika sampai merubah ciptaan Allah Ta’ala demi tujuan
kecantikan adalah terlarang, seperti menggunakan bulu mata palsu (sama halnya
dengan menggunakan rambut palsu alias wig, konde dan sanggul), operasi plastik,
operasi silikon payudara, dan semisalnya.
Namun, jika untuk tujuan kesehatan, pengobatan, dan maslahat
kehidupan, seperti cangkok jantung, kaki palsu untuk berjalan, tangan palsu
untuk memegang, gigi palsu untuk mengunyah, atau operasi pelastik untuk
pengobatan akibat wajah terbakar atau kena air keras, itu semua bukan termasuk
merubah ciptaan Allah Ta’ala. Itu semua merupakan upaya mengembalikan fungsi
organ tubuh seperti semula, bukan merubah dari yang aslinya. Ini semua sesuai
dengan hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لُعِنَتْ
الْوَاصِلَةُ
وَالْمُسْتَوْصِلَةُ
وَالنَّامِصَةُ
وَالْمُتَنَمِّصَةُ
وَالْوَاشِمَةُ
وَالْمُسْتَوْشِمَةُ
مِنْ
غَيْرِ
دَاءٍ
“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya,
wanita pembuat tato dan yang bertato, kecuali karena berobat.” (HR. Abu Daud [4170], Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan sanadnya hasan, Fathul Bari, 10/376. Darul Fikr. Syaikh Al Albani
mengatakan hasan shahih, lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 2101)
Penjelasan Ulama Tentang Kosa Kata Penting
Tentang makna-makna penting pada hadits-hadits di atas telah
jelaskan oleh para ulama di berbagai kitab syarah, di antaranya yang cukup
lengkap namun ringkas adalah dari Imam Abu Daud berikut ini.
وَتَفْسِيرُ
الْوَاصِلَةِ
الَّتِي
تَصِلُ
الشَّعْرَ
بِشَعْرِ
النِّسَاءِ
وَالْمُسْتَوْصِلَةُ
الْمَعْمُولُ
بِهَا
وَالنَّامِصَةُ
الَّتِي
تَنْقُشُ
الْحَاجِبَ
حَتَّى
تُرِقَّهُ
وَالْمُتَنَمِّصَةُ
الْمَعْمُولُ
بِهَا
وَالْوَاشِمَةُ
الَّتِي
تَجْعَلُ
الْخِيلَانَ
فِي
وَجْهِهَا
بِكُحْلٍ
أَوْ
مِدَادٍ
وَالْمُسْتَوْشِمَةُ
الْمَعْمُولُ
بِهَا
“Tafsir dari Al Washilah adalah wanita penyambungkan rambut
dengan rambut wanita lain, dan Al Mustawshilah adalah wanita yang menjadi
objeknya (yang disambung rambutnya). An Namishah adalah wanita pencukur alis
mata sampai tipis, dan Al Mutanammishah adalah wanita yang dicukur alisnya. Al
Wasyimah adalah wanita yang pembuat gambar di wajahnya dengan celak atau tinta
(yakni tato), dan Al Mustawsyimah adalah wanita yang dibuatkan tato.” (lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits
no. 4170. Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi [14611], Syaikh
Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)
Sedangkan makna Al Mutafalijat, sebagaimana yang dikatakan
oleh Al Hafizh sebagai berikut:
والمتفلجات
جمع
متفلجة
وهي
التي
تطلب
الفلج
أو
تصنعه،
والفلج
بالفاء
واللام
والجيم
انفراج
ما
بين
الثنيتين
والتفلج
أن
يفرج
بين
المتلاصقين
بالمبرد
ونحوه
وهو
مختص
عادة
بالثنايا
والرباعيات
Al Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat
atau menciptakan bela\han (pembagian). Al Falju dengan fa, lam, dan jim adalah
membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang
berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya
pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul
Bari, 10/372. Darul Fikr)
Jadi, Al Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang
tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.
Penjelasan Ulama Tentang Hukumnya
Hadits-hadits di atas tidak hanya menggunakan kata-kata
larangan tetapi laknat. Tentunya itu lebih keras dibanding sekedar larangan.
Hal itu menunjukkan keharaman melakukan hal-hal di atas, sebab tidak ada laknat
kecuali untuk hal-hal yang diharamkan.
1. Menyambung Rambut (Al Washilat wal Mustawshilat)
Menyambung rambut seperti memakai wigdan konde adalah haram
secara mutlak. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Asy Syaukani Rahimahullah
berikut ini:
والوصل
حرام
لأن
اللعن
لا
يكون
على
أمر
غير
محرم
“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah
terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad Da’wah
Al Islamiyah)
Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat
dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang
ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana
orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah
Al Misykah)
Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَهَذِهِ
الْأَحَادِيث
صَرِيحَة
فِي
تَحْرِيم
الْوَصْل
،
وَلَعْن
الْوَاصِلَة
وَالْمُسْتَوْصِلَة
مُطْلَقًا
،
وَهَذَا
هُوَ
الظَّاهِر
الْمُخْتَار
“Hadits-Hadits ini dengan jelas mengharamkan secara mutlak
menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang
yang disambung rambutnya, dan inilah yang benar lagi menjadi pendapat pilihan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236)
Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya,
Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat
keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya,
atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena
diharamkannya pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya
itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya dikubur, baik rambut, kuku
atau bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut
manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang
tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara
sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis
ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki
atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya)
belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau
punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai
zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka
–syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka
boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. (Ibid).
Demikian rincian yang dipaparkan Imam An Nawawi. Namun, jika
kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah
haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, maka larangannya berlaku umum.
Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut
Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti
dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat
dalam hal ini.
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath
Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut
dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka
berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang
wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.
Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan
dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk
menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain
perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh,
sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah,
bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu
terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/66)
Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung
rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang
sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496.
Darul Kitab Al ‘Arabi)
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama,
yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al umuru
bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak
menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan
oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian
dari Al Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut
menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis
rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera
berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak
termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak
ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan
keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan
dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al
Misykat)
Apa yang dikatakan oleh Al Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna
zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut,
bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda
dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di
depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan,
anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama
dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh
terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana
pendapat jumhur.
2. Minta dibuatkan Tato dan Si Pembuat Tato (Al Wasyimat wal
Mustawsyimat)
Sebagaimana hukum menyambung rambut, maka hukum membuat tato
atau bagi si pembuatnya adalah sama haram dan termasuk maksiat kepada Allah
Ta’ala. Lantaran keduanya diathafkan (dikaitkan) dalam satu hadits sebagaimana
riwayat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَعَنَ
اللَّهُ
الْوَاصِلَةَ
وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
وَالْوَاشِمَةَ
وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
“Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung
rambutnya, dan wanita pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603, 5598, 5596], Muslim
[2124], At Tirmidzi [1814] )
Imam Ibnu Baththal memberikan syarah terhadap hadits ini:
لأنهما
تعاونا
على
تغيير
خلق
الله
،
وفيه
دليل
أن
من
أعان
على
معصية
،
فهو
شريك
فى
الأثم
“Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan
Allah, dan hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan
maksiat, maka dia ikut serta dalam dosanya.”(Imam Ibnu Baththal, Syarh
Shahih Bukhari, 9/174. Maktabah Ar Rusyd)
Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi
kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al Khathib Asy
Syarbini mengatakan:
وتجب
إزالته
مالم
يخف
ضرراً
يبيح
التيمم،
فإن
خاف
ذلك
لم
تجب
إزالته
ولا
إثم
عليه
بعد
التوبة
“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan
adanya bahaya dan dibolehkan tayammum, jika dia takutkan hal itu, maka tidak
wajib menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah tobatnya.” (Imam Muhammad Al Khathib Asy
Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari, 10/372)
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya:
فإنه
يلزمه
إزالته
بعد
علمه
بالتحريم
،
لكن
إذا
كان
في
إزالته
مشقة
أو
مضرة
فإنه
يكفيه
التوبة
والاستغفار
،
ولا
يضره
بقاؤه
في
جسمه
.
“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia
mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami
kesulitan atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan
istighfar, dan tidak mengapa sisa tato yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat
Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218)
Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu
atau mandi janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, melainkan meresap ke
dalamnya. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran bagi orang yang memiliki tato
lalu setelah dia tahu keharamannya dia bertobat ingin menjalankan shalat.
Wallahu A’lam
3. Mencukur Alis Mata (An Namishat wal Mutanamishat)
Sebagaimana yang lain, maka An Namishah (pencukur alis) dan
Al Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga haram dan mendapatkan laknat
Allah Ta’ala.
قال
الطبري:
لا
يجوز
للمرأة
تغيير
شيء
من
خلقتها التي خلقها الله
عليها
بزيادة
أو
نقص
التماس
الحسن
لا
للزوج
ولا
لغيره
“Berkata Imam Ath Thabari: Tidak boleh bagi wanita merubah
sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan
atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan
tidak juga untuk selain suami.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr.
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As
Salafiyah)
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari ini tidak memberikan
pengecualian, bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun
–menurutnya- tidak boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan
Allah Ta’ala.
Namun, pandangan ini ditanggapi oleh Imam An Nawawi sebagai
berikut:
وَهَذَا
الْفِعْل
حَرَام
إِلَّا
إِذَا
نَبَتَتْ
لِلْمَرْأَةِ
لِحْيَة
أَوْ
شَوَارِب
،
فَلَا
تَحْرُم
إِزَالَتهَا
،
بَلْ
يُسْتَحَبّ
عِنْدنَا
. وَقَالَ
اِبْن
جَرِير
: لَا
يَجُوز
حَلْق
لِحْيَتهَا
وَلَا
عَنْفَقَتهَا
وَلَا
شَارِبهَا
،
وَلَا
تَغْيِير
شَيْء
مِنْ
خِلْقَتهَا
بِزِيَادَةِ
وَلَا
نَقْص
. وَمَذْهَبنَا
مَا
قَدَّمْنَاهُ
مِنْ
اِسْتِحْبَاب
إِزَالَة
اللِّحْيَة
وَالشَّارِب
وَالْعَنْفَقَة
،
وَأَنَّ
النَّهْي
إِنَّمَا
هُوَ
فِي
الْحَوَاجِب
وَمَا
فِي
أَطْرَاف
الْوَجْه
“Perbuatan ini (mencukur alis dan tukang cukurnya) adalah
haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram
menghilangkannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan:
“Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak
boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab
kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan
jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya larangan hanya berlaku
untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu
keadaan yang tidak lazim dan tidak normal. Sebab, wanita diciptakan Allah
Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya
bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala, melainkan
menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka, pendapat
yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat
yang lebih kuat.
Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak
dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad
membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang benar
adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang tidak
membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan menyenangkan
hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang baik (seperti
menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram. Sebagaimana
seorang penjudi berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah judinya
menjadi halal.
4. Mengkikir Gigi (Al Mutafalijah)
Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan.
Sebagaimana penjelasan para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang
berpenyakit, atau jika mengganggu aktiitas mengunyah.
Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah:
ويستثنى
من
ذلك
ما
يحصل
به
الضرر
والأذية
كمن
يكون
لها
سن
زائدة
أو
طويلة
تعيقها
في
الأكل
“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa
mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih
atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377.
Darul Fikr)
Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang
kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah.
Tetapi, jika dia memasangnya untuk bergaya-gaya, dan
mempercantik diri semata, bukan untuk berobat, maka itu terlarang karena
niatnya yang tidak benar dan termasuk pemborosan. Hal ini sesuai kaidah:
الأمور
بمقاصدها
Permasalahan dinilai sesuai maksudnya. (Imam As Suyuthi, Al Asybah
Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar